Suasana
ramai dan penuh keceriaan itu datang dari ruang kelas 2 SDN Bahari yang
tengah berlatih untuk pementasan diacara kenaikan kelas yang akan dilaksanakan
tujuh hari lagi. Mereka semua berlatih dengan penuh semangat dan gembira, wajah-wajah
mereka selalu dibalut dengan tawa dan senyuman. Namun lain halnya dengan Nadia, salah satu
siswi di kelas itu.
Tidak
seperti biasanya, Nadia memasang wajah muram yang penuh kesedihan. Sesekali teman-temannya mengajak
bergabung untuk berlatih namun ia selalu menggeleng dan menolaknya.
Dari
jauh nampak seorang wanita berkerudung coklat yang berdiri memperhatikan tingkah Nadia. Tak lama
kemudian wanita itu menghampiri Nadia.
"Nadia
kenapa?" tanya Bu Ratih, wali kelasnya. Nadia yang sedang tak bersemangat itu hanya menggelengkan
kepalanya kemudian menunduk dan cemberut.
"Hhhmmm... Kok malah
cemberut, sih?" Tanya Bu Ratih lagi sambil duduk disebelahnya.
"
Nadia kenapa ? Nadia ada masalah ya?"
Nadia
hanya menjawab dengan gelengan kepalanya. Bu ratih yang penasaran dengan perubahan sikap muridnya
terus-terusan bertanya.
"Nadia
kalau ada masalah cerita dong sama Ibu, kok dari tadi ibu perhatiin Nadia diem aja. Nadia kenapa, sih ? Gak biasanya
loh Nadia seperti ini" Bu Ratih
mulai membujuk.
"Nadia... Nadia sakit, ya ?" Selidiknya.
"Nadia
gak kenapa-kenapa ko bu, Nadia cuma pengen diem aja," jawab Nadia datar.
"Hhhmmm.. Masa, sih? Kok ibu merasa kalau Nadia menyembunyikan sesuatu dari ibu," selidik Bu Ratih sambil memandang serius wajah Nadia.
Nadia
yang sadar tengah dipandangi gurunya itu kemudian menundukan kepala seraya berkata, "Nadia gak apa-apa bu, Nadia cuma
kangen sama Mama dan Papa. Nadia pengen ketemu sama Mama dan Papa."
Ibu Ratih yang
mendengarnya langsung berurai air mata. Dipeluk dan diciumnya gadis
kecil itu. Ibu Ratih, guru sekaligus sahabat karib orang
tua Nadia itu mengetahui persis akan kejadian tragis yang menimpa mereka. Kecelakaan yang berujung maut
empat bulan lalu membuat Nadia, anak yang baru berusia 7 tahun itu menanggung beban sebagai
yatim piatu.
"Sabar ya, Nak. Doakan saja
papa sama mama biar masuk surganya Allah," lirihnya
sambil mengelus pundak Nadia lembut.
"Kenapa sih, Bu... Allah itu
jahat sama Nadia? Allah nggak sayang sama Nadia. Nadia kan nggak bandel, Bu. Nadia rajin ngaji. Nadia juga selalu nurut sama nasehat Papa. Knapa Nadia, Bu? Kenapa mesti Nadia yang harus ditinggal Mama sama Papa? Kenapa nggak Dodi yang bandel?
Kenapa nggak Ifan yang nggak pernah ngaji? Kenapa mesti Nadia, Bu...? Kenapa??" Keluh Nadia mengeluarkan isi hatinya.
"Astaghfirullohhaladzim... Nadia istighfar, sayang... Nadia nggak boleh berkata seperti itu. Justru karena Allah sayang Nadia, makanya Allah
ambil Mama sama Papa Nadia." Ucap Bu Ratih mengingatkan
Nadia.
"Nadia suka baca
kisah tauladan Rasullullah?" Tanya Bu Ratih. Nadia menoleh
pada gurunya, lalu mengangguk.
"Nadia ingat, ayah Rasulullah meninggal saat beliau belum lahir.
Beliau bahkan nggak pernah tau seperti apa wajah ayahnya. Diusia 6 tahun Ibunda
beliau juga meninggal." Bu Ratih menceritakan kembali kisah tauladan
Rasullullah pada Nadia.
"... tapi Radulullah nggak pernah marah sama Allah. Nadia tau
kenapa?" Tanya Bu Ratih. Nadia menggeleng, air mata masih
membasahi pipinya.
"Kenapa?" Tanyanya lirih.
"Karena Rasulullah tau kalau Allah sayang sama Beliau. Rasulullah
tau, kalau Beliau sabar dan ikhlas maka Allah akan memberikan hadiah surga untuk Ayah dan
Ibunya. Nadia mau nggak kalau Mama sama Papa masuk surga?" Tanya Bu Ratih.
Nadia
mengangguk kuat sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya seperti
mendapati pencerahan dari Bu Ratih.
"Nadia mau Mama sama Papa masuk surga!"
" Nah Nadia, sayang... Kalau Nadia pengen Mama sama Papa masuk surga,
Nadia nggak boleh sedih lagi. Nadia harus kuat dan harus rajin berdoa sama Allah
supaya Allah menjaga orang tua Nadia di surga. Kalau Nadia yakin sama Allah, Insyaallah dibalik semua ini ada hikmah yang amat istimewa
yang Allah rencanakan untuk Nadia."
Tutur Bu Ratih, mencoba menguatkan hati gadis kecil itu.
"
Allah gak marah sama Nadia kan, Bu?"
Tanyanya
"Kenapa Allah harus marah sama Nadia?"
"Karena Nadia udah bilang Allah itu jahat. Nadia takut, Bu... Takut Allah
marah sama Nadia... Nadia cuma punya Allah, Bu... Kalau Allah marah sama Nadia, Nadia takut gak ada yang sayang lagi sama
Nadia." Wajahnya penuh kekhawatiran.
Bu Ratih tersenyum
dan memeluk Nadia.
" Nadia sayang... Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang. jadi, Nadia nggak usah khawatir Allah marah. justru
Allah sayang banget sama Nadia. Buktinya Allah ngasih bidadari cantik dan baik
hati di sebelah Nadia. Hehehe..." Canda Bu Ratih membuat Nadia mengukir
senyuman.
"Nadia tau nggak, selain Allah masih banyak orang-orang yang sayang
sama Nadia." Ucap Bu Ratih.
Nadia mendongak memandang gurunya dengan dahi berkerut, tanda tak
mengerti.
"Iya... Masih banyak yang sayang Nadia. Ada Ibu, Eyang Nadia, juga
mereka..." Bu Ratih menunjuk teman-teman Nadia yang tengah berlatih.
"Mereka sayang Nadia, mereka nggak suka lihat Nadia murung kayak
tadi. MerEka juga sedih loh liat Nadia sedih," lanjut Bu Ratih.
"Nadia nggak mau bikin orang lain sedih, Bu." Aku
Nadia.
"Kalau gitu, Nadia harus janji sama Ibu kalau Nadia nggak akan
murung dan sedih lagi, ya?!" Pinta Bu Ratih.
Nadia mengangguk seraya berkata, "Iya... Nadia janji nggak akan murung
dan sedih lagi." Jawab Nadia dengan wajah penuh senyuman dan
kembali ceria.
"Janji?" Bu Ratih nemunjukkan jari kelingkingnya di hadapan
Nadia. "Janji!" Jawab Nadia sembil mengaitkan jari kelingkingnya
dengan jari kelingking Bu Ratih. Keduanya tertawa bersama.
***
Hari
kenaikan kelas sudah tiba. Ruang serbaguna pun sudah dipenuhi oleh tamu
undangan. Satu persatu para siswa menampilkan
kreasi dan bakat mereka dipanggung kecil yang sudah
didesign dengan sangat cantik. Kini giliran Nadia untuk tampil diatas panggung.
"Assalamualaikum
Wr. Wb.," gugup Nadia mengucap salam,
membuka penampilannya.
"Nadia
disini mau bacain surat, surat Nadia buat Mama dan Papa di surga. Nadia berharap Mama dan Papa bisa denger suara
Nadia kalau suratnya Nadia bacain pake mixrophone". Lugu kata-katanya.
Semua yang hadir di ruang serba guna itu tersenyum. Seketika suasana yang ramai menjelma hening ketika Nadia mulai membacakan isi
suratnya.
Untuk Mama dan Papa
Mama... Mama lagi apa ? Nadia kangen, Ma...
Papa... Papa sibuk, ya ? Kok jarang telpon Nadia ?
Mama... Nadia sudah bisa ikat tali sepatu sendiri
Sekarang Nadia juga sudah bisa sisir rambut
sendiri
Nadia juga nyuci baju Nadia sendiri, Ma... Pa...
Papa... Si Buluk, anjing di
sebelah rumah kita sudah tidak menggonggongi Nadia lagi, Pa...
sekarang
Nadia udah nggak takut lagi kalo main sepeda sendiri
Mama... Hari ini ulang
tahun Nadia
Mama inget, kan??
Papa... Nadia nggak mau kado
mahal dari Papa
Nadia
juga nggak mau pesta meriah seperti pesta ulang tahun Rita
Nadia
cuma pengen peluk Mama sama Papa...
Nadia kangen kalian
Nadia
pengen disuapin Mama...
Nadia
pengen digendong Papa...
Nadia kangen Mama... Nadia kangen Papa...
Nadia
sayang Mama... Nadia sayang Papa...
Semoga Mama sama Papa disayang
Allah
Nadia
disini juga disayang Allah
Mama... Papa...
Lihat Nadia, ya...
Nadia akan jadi anak shalehah
Supaya nanti kita bisa berkumpul di surganya Allah...
Suasana
yang tadinya hening kini berubah menjadi haru. Semua yang
hadir menitikkan air mata, seolah ikut merasakan kerinduan Nadia. Bu ratih yang duduk di barisan paling depan langsung berari
menghampiri dan memeluk Nadia yang terisak.
"Nadia
sayang,,, selamat ulang tahun..."
lirih Bu Ratih, juga sambil terisak. Kemudian Ia mengeluarkan sesuatu dari
balik kerudungnya.
"Ini kado buat Nadia. Kado dari Mama Nadia." Bu Ratih mengulurkan bingkisan berbalut kertas
berwarna ungu, warna ungu dengan motif Hello Kitty, kartun favoritnya.
"Mama Nadia menitipkannya empat bulan yang lalu
sebelum Mama Nadia pergi. Awalnya, Mama Nadia berencana pergi ke London untuk beberapa urusan sehingga dia
menitipkan ini. Kado istimewa buat Nadia, katanya. Tapi ternyata Allah berkehendak lain sehingga Mama Nadia bukan
pergi ke London, melainkan pergi ke rumah Allah." Lanjut Bu
Ratih.
Nadia tak henti-hentinya menangis mendengar perkataan Bu Ratih. Dengan tangan bergetar dan pipi yang berlinang air mata, Nadia membuka kado istimewanya.
Semua mata di ruangan itu tak beralih dari menatap Nadia dan Bu Ratih
yang masih berada di atas panggung. Penasaran dengan kado istimewa Nadia. Dan ternyata isi kado istimewa dari mamanya adalah sebuah
Al-Qur'an berwarna emas yang sangat indah dan sepucuk surat dari mamanya.
Nadia sayang... Selamat ulang tahun,
jangan nangis karena mama nggak bisa ngasih kado untuk
Nadia dengan kedua tangan Mama sendiri .
Nadia... Anak Mama yang manis... Semoga Nadia bisa jadi
penghafal Al-Qur'an yang baik dan bisa mengamalkannya kepada orang-orang di sekeliling Nadia ya, Nak ?
Nadia kesayangan Mama dan Papa...
Dimanapun dan kapanpun Mama dan Papa selalu sayang Nadia...
Selepas membaca surat itu Nadia tak
henti-hentinya menangis sambil memeluk kadonya. Kado istimewa Nadia, kado terakhir dari Mamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkunjung Dan Memberikan Komentar
Saran Dan Kritik Sangat Saya Nantikan Untuk Kesempurnaan Blog Ini