Selasa, 19 Januari 2016

Kado Istimewa Nadia

Suasana ramai dan penuh keceriaan itu datang dari ruang kelas 2 SDN Bahari yang tengah berlatih untuk pementasan diacara kenaikan kelas yang akan dilaksanakan tujuh hari lagi. Mereka semua berlatih dengan penuh semangat dan gembira, wajah-wajah mereka selalu dibalut dengan tawa dan senyuman. Namun lain halnya dengan Nadia, salah satu siswi di kelas itu.
Tidak seperti biasanya, Nadia memasang wajah muram yang penuh kesedihan. Sesekali teman-temannya mengajak bergabung untuk berlatih namun ia selalu menggeleng dan menolaknya.
Dari jauh nampak seorang wanita berkerudung coklat yang berdiri memperhatikan tingkah Nadia. Tak lama kemudian wanita itu menghampiri Nadia.
"Nadia kenapa?" tanya Bu Ratih, wali kelasnya. Nadia yang sedang tak bersemangat itu hanya menggelengkan kepalanya kemudian menunduk dan cemberut.
"Hhhmmm... Kok malah cemberut, sih?" Tanya Bu Ratih lagi sambil duduk disebelahnya.
" Nadia kenapa ? Nadia ada masalah ya?"
Nadia hanya menjawab dengan gelengan kepalanya. Bu ratih yang penasaran dengan perubahan sikap muridnya terus-terusan bertanya.

"Nadia kalau ada masalah cerita dong sama Ibu, kok dari tadi ibu perhatiin Nadia diem aja. Nadia kenapa, sih ? Gak biasanya loh Nadia seperti ini" Bu Ratih mulai membujuk.
"Nadia... Nadia sakit, ya ?" Selidiknya.
"Nadia gak kenapa-kenapa ko bu, Nadia cuma pengen diem aja," jawab Nadia datar.
"Hhhmmm.. Masa, sih? Kok ibu merasa kalau Nadia menyembunyikan sesuatu dari ibu," selidik Bu Ratih sambil memandang serius wajah Nadia.
Nadia yang sadar tengah dipandangi gurunya itu kemudian menundukan kepala seraya berkata, "Nadia gak apa-apa bu, Nadia cuma kangen sama Mama dan Papa. Nadia pengen ketemu sama Mama dan Papa."
Ibu Ratih yang mendengarnya langsung berurai air mata. Dipeluk dan diciumnya gadis kecil itu. Ibu Ratih, guru sekaligus sahabat karib orang tua Nadia itu mengetahui persis akan kejadian tragis yang menimpa mereka. Kecelakaan yang berujung maut empat bulan lalu membuat Nadia, anak yang baru berusia 7 tahun itu  menanggung beban sebagai yatim piatu.
"Sabar ya, Nak. Doakan saja papa sama mama biar masuk surganya Allah," lirihnya sambil mengelus pundak Nadia lembut.
"Kenapa sih, Bu... Allah itu jahat sama Nadia? Allah nggak sayang sama Nadia. Nadia kan nggak bandel, Bu. Nadia rajin ngaji. Nadia juga selalu nurut sama nasehat Papa. Knapa Nadia, Bu? Kenapa mesti Nadia yang harus ditinggal Mama sama Papa? Kenapa nggak Dodi yang bandel? Kenapa nggak Ifan yang nggak pernah ngaji? Kenapa mesti Nadia, Bu...? Kenapa??" Keluh Nadia mengeluarkan isi hatinya.
"Astaghfirullohhaladzim... Nadia istighfar, sayang... Nadia nggak boleh berkata seperti itu. Justru karena Allah sayang Nadia, makanya Allah ambil Mama sama Papa Nadia." Ucap Bu Ratih mengingatkan Nadia.
"Nadia suka baca kisah tauladan Rasullullah?" Tanya Bu Ratih. Nadia menoleh pada gurunya, lalu mengangguk.
"Nadia ingat, ayah Rasulullah meninggal saat beliau belum lahir. Beliau bahkan nggak pernah tau seperti apa wajah ayahnya. Diusia 6 tahun Ibunda beliau juga meninggal." Bu Ratih menceritakan kembali kisah tauladan Rasullullah pada Nadia.
"... tapi Radulullah nggak pernah marah sama Allah. Nadia tau kenapa?" Tanya Bu Ratih. Nadia menggeleng, air mata masih membasahi pipinya.
"Kenapa?" Tanyanya lirih.
"Karena Rasulullah tau kalau Allah sayang sama Beliau. Rasulullah tau, kalau Beliau sabar dan ikhlas maka Allah akan memberikan hadiah surga untuk Ayah dan Ibunya. Nadia mau nggak kalau Mama sama Papa masuk surga?" Tanya Bu Ratih.
Nadia mengangguk kuat sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya seperti mendapati pencerahan dari Bu Ratih. "Nadia mau Mama sama Papa masuk surga!"
" Nah Nadia, sayang... Kalau Nadia pengen Mama sama Papa masuk surga, Nadia nggak boleh sedih lagi. Nadia harus kuat dan harus rajin berdoa sama Allah supaya Allah menjaga orang tua Nadia di surga. Kalau Nadia yakin sama Allah, Insyaallah dibalik semua ini ada hikmah yang amat istimewa yang Allah rencanakan untuk Nadia." Tutur Bu Ratih, mencoba menguatkan hati gadis kecil itu.
" Allah gak marah sama Nadia kan, Bu?" Tanyanya
"Kenapa Allah harus marah sama Nadia?"
"Karena Nadia udah bilang Allah itu jahat. Nadia takut, Bu... Takut Allah marah sama Nadia... Nadia cuma punya Allah, Bu... Kalau Allah marah sama Nadia, Nadia takut gak ada yang sayang lagi sama Nadia." Wajahnya penuh kekhawatiran.
Bu Ratih tersenyum dan memeluk Nadia.
" Nadia sayang... Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang. jadi, Nadia nggak usah khawatir Allah marah. justru Allah sayang banget sama Nadia. Buktinya Allah ngasih bidadari cantik dan baik hati di sebelah Nadia. Hehehe..." Canda Bu Ratih membuat Nadia mengukir senyuman.
"Nadia tau nggak, selain Allah masih banyak orang-orang yang sayang sama Nadia." Ucap Bu Ratih.
Nadia mendongak memandang gurunya dengan dahi berkerut, tanda tak mengerti.
"Iya... Masih banyak yang sayang Nadia. Ada Ibu, Eyang Nadia, juga mereka..." Bu Ratih menunjuk teman-teman Nadia yang tengah berlatih.
"Mereka sayang Nadia, mereka nggak suka lihat Nadia murung kayak tadi. MerEka juga sedih loh liat Nadia sedih," lanjut Bu Ratih.
"Nadia nggak mau bikin orang lain sedih, Bu." Aku Nadia.
"Kalau gitu, Nadia harus janji sama Ibu kalau Nadia nggak akan murung dan sedih lagi, ya?!" Pinta Bu Ratih.
Nadia mengangguk seraya berkata, "Iya... Nadia janji nggak akan murung dan sedih lagi." Jawab Nadia dengan wajah penuh senyuman dan kembali ceria.
"Janji?" Bu Ratih nemunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Nadia. "Janji!" Jawab Nadia sembil mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Bu Ratih. Keduanya tertawa bersama.
***
Hari kenaikan kelas sudah tiba. Ruang serbaguna pun sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Satu persatu para siswa menampilkan kreasi dan bakat mereka dipanggung kecil yang sudah didesign dengan sangat cantik. Kini giliran Nadia untuk tampil diatas panggung.
"Assalamualaikum Wr. Wb.," gugup Nadia mengucap salam, membuka penampilannya.
"Nadia disini mau bacain surat, surat Nadia buat Mama dan Papa di surga. Nadia berharap Mama dan Papa bisa denger suara Nadia kalau suratnya Nadia bacain pake mixrophone". Lugu kata-katanya.
Semua yang hadir di ruang serba guna itu tersenyum. Seketika suasana yang ramai menjelma hening ketika Nadia mulai membacakan isi suratnya.
Untuk Mama dan Papa
Mama... Mama lagi apa ? Nadia kangen, Ma...
Papa... Papa sibuk, ya ? Kok jarang telpon Nadia ?
Mama... Nadia sudah bisa ikat tali sepatu sendiri
Sekarang Nadia juga sudah bisa sisir rambut sendiri
Nadia juga nyuci baju Nadia sendiri, Ma... Pa...
Papa... Si Buluk, anjing di sebelah rumah kita sudah tidak menggonggongi Nadia lagi,  Pa...
sekarang Nadia udah nggak takut lagi kalo main sepeda sendiri
Mama... Hari ini ulang tahun Nadia
Mama inget, kan??
Papa... Nadia nggak mau kado mahal dari Papa
Nadia juga nggak mau pesta meriah seperti pesta ulang tahun Rita
Nadia cuma pengen peluk Mama sama Papa...
Nadia kangen kalian
Nadia pengen disuapin Mama...
Nadia pengen digendong Papa...
Nadia kangen Mama... Nadia kangen Papa...
Nadia sayang Mama... Nadia sayang Papa...
Semoga Mama sama Papa disayang Allah
Nadia disini juga disayang Allah
Mama... Papa...
Lihat Nadia, ya...
Nadia akan jadi anak shalehah
Supaya nanti kita bisa berkumpul di surganya Allah...
Suasana yang tadinya hening kini berubah menjadi haru. Semua yang hadir menitikkan air mata, seolah ikut merasakan kerinduan Nadia. Bu ratih yang duduk di barisan paling depan langsung berari menghampiri dan memeluk Nadia yang terisak.
"Nadia sayang,,, selamat ulang tahun..." lirih Bu Ratih, juga sambil terisak. Kemudian Ia mengeluarkan sesuatu dari balik kerudungnya.
"Ini kado buat Nadia. Kado dari Mama Nadia." Bu Ratih mengulurkan bingkisan berbalut kertas berwarna ungu, warna ungu dengan motif Hello Kitty, kartun favoritnya.
"Mama Nadia menitipkannya empat bulan yang lalu sebelum Mama Nadia pergi. Awalnya, Mama Nadia berencana pergi ke London untuk beberapa urusan sehingga dia menitipkan ini. Kado istimewa buat Nadia, katanya. Tapi ternyata Allah berkehendak lain sehingga Mama Nadia bukan pergi ke London, melainkan pergi ke rumah Allah." Lanjut Bu Ratih.
Nadia tak henti-hentinya menangis mendengar perkataan Bu Ratih. Dengan tangan bergetar dan pipi yang berlinang air mata, Nadia membuka kado istimewanya.
Semua mata di ruangan itu tak beralih dari menatap Nadia dan Bu Ratih yang masih berada di atas panggung. Penasaran dengan kado istimewa Nadia. Dan ternyata isi kado istimewa dari mamanya adalah sebuah Al-Qur'an berwarna emas yang sangat indah dan sepucuk surat dari mamanya.
Nadia sayang... Selamat ulang tahun, jangan nangis karena mama nggak bisa ngasih kado untuk Nadia dengan kedua tangan Mama sendiri .
Nadia... Anak Mama yang manis... Semoga Nadia bisa jadi penghafal Al-Qur'an yang baik dan bisa mengamalkannya kepada orang-orang di sekeliling Nadia ya, Nak ?
Nadia kesayangan Mama dan Papa...
Dimanapun dan kapanpun Mama dan Papa selalu sayang Nadia...

Selepas membaca surat itu Nadia tak henti-hentinya menangis sambil memeluk kadonya. Kado istimewa Nadia, kado terakhir dari Mamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung Dan Memberikan Komentar
Saran Dan Kritik Sangat Saya Nantikan Untuk Kesempurnaan Blog Ini